Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18
November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah.
Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia,
yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan
Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan
yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru,
yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri
Kauman Yogyakarta.
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa
berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah”
dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi
Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia
bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat
Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan
tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang
memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan
demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi
kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran
dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan
merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai
Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah
menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya
pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah
Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada
ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad
Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad
bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim
di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam
itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan.
Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan
gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio
kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk
mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai
Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah
agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R.
Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa
Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada
sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah
Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan
tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar
terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban,
ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya
diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang
kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah
(Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah
memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau
dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan
organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan
pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13)
secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember
1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah”
(kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan
Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung
ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan
Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman
Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah
sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya
kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung
milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang
mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu
umum.
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah
bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya
didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi
baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan
mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang
pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal
Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang
pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu
18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1
dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18
November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama
Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk
Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama
kepada anggauta-anggautanya.”
Terdapat hal menarik, bahwa
kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan
kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada
periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah
Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun
1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.
Dalam
pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut
mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam
sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada
ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan
mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada
umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama
untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
Pada
AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330)
mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD
Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah
mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat,
”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005
setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali
Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912,
1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959,
1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan
formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985
karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan
tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan
Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah
menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu
wata’ala”. Asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun
2000 di Jakarta.
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana
digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan
sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali
pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka
pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan,
sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang
meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman
terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan
kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih,
dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai
Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby
Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai
berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah
Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan
cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan
kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran
Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam
ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang
bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang
memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan
pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu
mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok
generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa
terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan
Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu.
Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan
menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Langkah
ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu
melahirkan generasi terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan
keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena konteksnya
berbeda.
Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari
Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan Surat Al-Ma’un.
Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang
paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal
sosial-kesejahteraan, yang kemudian melahirkan lembaga Penolong
Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana Islam
kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak
sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah”
(hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam
memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah
”teologi amal” yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran
Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di
negeri ini.
Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok
umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen, tetapi dengan
cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara
langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta.
Dengan pemahaman adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran
sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai
Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua
agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam
ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya
beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di
masjid (Jainuri, 2002: 78) .
Kepeloporan pembaruan
Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang
ide dasarnya dari pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya
berada di dalam rumah, tetapi harus giat di masyarakat dan secara khusus
menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum perempuan.
Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam
lain, yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan
lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini menunjukkan sikap
dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran
perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat
tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau
gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa
majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
Kyai
Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi
Hadikusuma (t.t: 69) telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan
mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara Muhammadiyah bukan hanya
memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi
merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat
dunyawiyah. Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi
dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar mewujud dalam
kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai
gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan
dalam sistem kehidupan yang nyata.
Kyai Dahlan dalam
mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas.
Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang
sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan
fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan
akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik
dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak
ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan
hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal
yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran
dan ijtihad.
Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus
mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk mempelajari ayat
Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan
simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya?
bagaimanakah tafsir keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini
larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah ini
perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid:
65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian
dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang
dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas
pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah
kehidupan.
Kelahiran Muhammadiyah dengan
gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji Ahmad
Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan
hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi
tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang
menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:
Umat
Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang
mengakibatkan umat Islam tidak merupakan golongan yang terhormat dalam
masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan sinar
kemurniannya lagi;
Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat
Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta ketiadaan
suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga
pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader Islam, karena tidak lagi
dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam
alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara
dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan
Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh
agama Islam, serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di
Indonesia yang semakin menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat
(Junus Salam, 1968: 33).
Karena
itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena
alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam
di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2)
Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3)
Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam
dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto &
Haedar Nashir, 1990: 332).
Kendati menurut sementara
pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang
tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun
penilaian yang terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan
gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah
yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya
sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini
tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu
dan hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif
kepeloporannya.
Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang
didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan
pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai
latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di
Indonesia, berikut pandangan James Peacock (1986: 26), seorang
antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai
Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak
berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan
cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja
gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan
teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil
kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan
kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta
anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan
pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai
pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga
telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan
pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti
asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai
lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi
wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di
dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama
dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran
Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada
Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki
konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang
berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh
telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi
pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam
untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam
tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada
sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih,
tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba
ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena
baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa
gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat
jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan
gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika
umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan
peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi
jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan
adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat,
instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format
gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah,
juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan
keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai
qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu
urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi
wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai
gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan
teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali
Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk
mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang
munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal
sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan
inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada
kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang
murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu
sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam
ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam
dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada
serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari
segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit
yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau
Modernisme Islam di Indonesia.